Powered By Blogger

Jumat, 18 Desember 2009

TVRI dan Mimpi Republik


Oleh: Agus Sudibyo

“Televisi Republik Indonesia”. Kata republik di sini tentu bukan jargon yang disematkan untuk sekedar melegitimasi sebuah media penyiaran. Kata republik itu merujuk pada cita-cita dan semangat yang luhur : turut berkontribusi pada proses gradual penguatan watak kultural dan keadaban suatu masyarakat. Maka signifikansi TVRI bagi bangsa ini jelas berbeda dengan deretan televisi swasta yang semakin eksesif pengaruhnya dewasa ini. Jika permakluman masih bisa diberikan pada trend komersialisasi dan privatisasi televisi swasta, sebaliknya tak ada kompromi bagi imperatif TVRI untuk senantiasa mengabdi pada nilai keutamaan publik dan agenda-agenda pencerahan masyarakat.

Namun jika menyimak dinamika pada tubuh TVRI belakangan, segera terasa betapa perwujudan watak-watak kepublikan itu jauh panggang dari api. Pertama, dari siaran dan pesan yang disampaikan kepada khalayak, sulit mencari perbedaan antara TVRI dan stasiun televisi komersial. Jika saja kita menutup pojok atas layar televisi, sulit menyadari bahwa kita sedang menonton TVRI. Jenis program, orientasi dan materi siaran, pendekatan dan gaya penyajian TVRI setali tiga uang dengan televisi komersial pada umumnya. Sejauh ini, hampir tidak ada yang khas dan istimewa pada program siaran TVRI, yang mencerminkan karakter dan praktek lembaga penyiaran publik, sebagaimana ditemukan di negara-negara lain.

Kedua, yang lebih sering sampai ke telinga publik bukanlah kisah kepeloporan dan tindakan-tindakan populis TVRI, tetapi justru kabar tak sedap tentang konflik-konflik yang seakan tak ada ujungnya tentang kedudukan dan eksistensi TVRI. Rejim memang telah berganti, kondisi politik telah banyak berubah, namun tidak demikian dengan hikayat TVRI sebagai lembaga publik yang selalu rentan terhadap intervensi politik dan terus-menerus teralienasi dari fungsi-fungsi idealnya. Reformasi hanya menjadi euphoria sesaat karena tak lama kemudian, bahkan setelah lahirnya UU Penyiaran No 32/2002, TVRI justru menjadi ajang konflik antar berbagai kepentingan.

Pada tataran ideologis, TVRI pasca 1998 menjadi arena pertarungan antara keinginan untuk membangun lembaga penyiaran publik yang ideal dengan kehendak untuk mempertahankan TVRI sebagai media (milik) pemerintah. Pertarungan ini tidak otomatis usai ketika DPR berhasil memperjuangkan status TVRI sebagai penyiaran publik dalam UU Penyiaran No 32/2002. Institusionalisasi TVRI sebagai penyiaran publik selanjutnya tidak berjalan mulus, bahkan mengalami banyak anomali. Tidak ada dukungan politik pemerintah yang notabene masih sangat determinan dalam restrukturisasi dan politik budget TVRI.

Upaya pemerintah untuk menjadikan TVRI sebagai BUMN, perubahan status TVRI dari perusahaan jawatan (perjan) menjadi perseroan terbatas (PT) dengan tujuan agar lebih provit oriented menunjukkan bahwa Pemerintah tidak mempunyai proyeksi tentang lembaga penyiaran publik. Lebih serius dari itu, pemerintah umumnya juga masih memandang pers dengan paradigma lama. Tak pelak, ilusi tentang media sebagai mitra pemerintah, sebagai perangkat pembangunan nasional masih dominan dalam berbagai pernyataan dan keputusan pemerintah tentang media, termasuk tentang TVRI.

Pada tataran politik praktis, memberikan peranan yang lebih besar kepada DPR untuk menentukan nasib TVRI menimbulkan dilema tersendiri. Hal ini bisa berarti memberikan peluang lebih besar kepada publik untuk turut menentukan nasib dan eksistensi TVRI, atau bisa juga berarti mengundang partai-partai politik untuk menancapkan kepentingan dan pengaruhnya pada stasiun televisi tertua di Indonesia itu.

Mana yang lebih dominan dalam kebijakan tentang TVRI, penyerapan atas aspirasi publik atau determinasi kepentingan politik partai ? Jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan apakah keputusan-keputusan tentang TVRI dilandasi pertimbangan-pertimbangan idealis-profesional atau pertimbangan-pertimbangan politik prakmatis. Apakah agenda-agenda restrukturisasi TVRI pertama-tama mencerminkan tujuan efisiensi kinerja dan peningkatan produktivitas, atau justru lebih mencerminkan proyeksi-proyeksi partai politik besar, katakanlah terkait dengan pemilu atau pilpres 2009.

Satu hal yang bisa disimpulkan kemudian, transformasi kelembagaan TVRI belumlah tuntas. Masyarakat tidak tahu mau menjadi apa TVRI persisnya nanti. Yang masyarakat tahu, ribut-ribut soal TVRI selalu terjadi menjelang momentum pemilu dan pilpres. Pada titik ini, membayangkan peran ideal TVRI bagi nilai-nilai keutamaan publik bagaikan mimpi di siang bolong.

Namun kita dihadapkan pada situasi di mana peranan lembaga penyiaran publik sangat dibutuhkan. Krisis informasi dan penerangan publik begitu terasa saat bangsa ini dihadang oleh serial musibah banjir, tanah longsor, kecelakaan transportasi, flu burung, busung lapar dan lain-lain. Karena penyiaran komersial terikat oleh hukum besi komersialisasi, maka lembaga penyiaran publiklah yang paling mungkin diharapkan memberikan penerangan, menyebarluaskan informasi yang sangat dibutuhkan khalayak guna menghadapi situasi bencana. Di sini, sebagai upaya minimal, mimpi itu tetap perlu dilakukan.

Penulis : Agus Sudibyo, Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar